Dikuasainya dan diterapkannya trilogi profesi konselor
merupakan kunci bagi suksesnya profesionalisasi bidang konseling.
Seluruh upaya dalam gerakan profesionalisasi tersebut di arahkan
kepada pembinaan konselor yang benar-benar menguasai trilogy
profesi konselor dan terandalkan dalam penerapannya.
A. KONSELOR SEBAGAI PENDIDIK
Menurut peraturan perundangan, keterkaitan konselor
dengan pendidik dapat dilihat pada pasal/ayat aturan
perundangan berikut:
• Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
(UU No. 20/2003 Pasal 1 Butir 1).
• Pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor10),
pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan (UU No. 20/2003 Pasal
1 Butir 6).
• Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (UU
No. 20/2003 Pasal 39 Ayat 2).
Dari kutipan di atas amatlah jelas bahwa konselor adalah
pendidik, setara dengan jenis-jenis pendidik lainnya, seperti guru,
dosen, widyaiswara, dan lain-lain yang tentu saja dikenai oleh tugastugas
fungsional berkenaan dengan kegiatan pendidikan pada
umumnya. Tugas fungsional pokok dan mendasar bagi semua
pendidik sebagaimana tercantum dalam aturan perundangan itu
adalah kegiatan berkenaan dengan :
• Belajar dan pembelajaran
• Pembimbingan
• Pelatihan
• Penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (khusus
untuk pendidik di perguruan tinggi).
Dengan demikian amat jelas pula bahwa tugas semua
pendidik, tidak hanya guru, tidak terkecuali konselor, adalah
melakukan kegiatan atau pelayanan kepada peserta didik agar
peserta didik itu melakukan kegiatan belajar dan mengikuti
proses pembelajaran, serta pembimbingan11) dan/atau pelatihan12) yang diselenggarakan oleh pendidik. Apabila pada
ayat tentang pengertian pendidikan yang dikutip di atas disebut
“agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya”, hal itupun hanya bisa dicapai melalui kegiatan belajar
dan proses pembelajaran, pembimbingan dan/atau pelatihan
yang dijalani oleh peserta didik. Lebih jauh, apabila pada ayat
tersebut dikemukakan (peserta didik) “memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, dan keterampilan”, itupun pencapaian hanya bisa
melalui kegiatan dan pembelajaran pembimbingan dan/atau
pelatihan. Kegiatan pembimbingan yang menjadi tugas semua
pendidik, tidak hanya konselor, tidak lain adalah untuk
memperkuat peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar
dan menjalani proses pembelajaran pembimbingan dan/atau
pelatihan. Apa yang dimaksudkan oleh peraturan perundangan
itu sesuai dengan kaidah pokok keilmuan pendidikan yang
menyatakan bahwa tidak ada pendidikan tanpa kegiatan
belajar dan proses pembelajaran, atau dengan kata-kata lain:
pendidikan hanya dapat terselenggara melalui kegiatan belajar
dan proses pembelajaran yang dijalani/diikuti oleh peserta
didik.
Dengan pengertian tersebut di atas, konselor sebagai
pendidik, sebagaimana juga pendidik-pendidik lainnya, pastilah
menanggung kewajiban untuk mengembangkan situasi di mana
peserta ini melakukan kegiatan belajar dan mengikuti proses
pembelajaran, serta mengikuti pembimbingan dan/atau
pelatihan yang diselenggarakan pendidik13). Hal yang seringkali
dipersoalkan adalah, kalau semua pendidik berurusan dengan
kegiatan belajar, proses pembelajaran pembimbingan dan/atau
pelatihan terhadap peserta didik, lalu apa beda antara jenis
pendidik yang satu dengan yang lainnya? Inilah permasalahan yang orang sering menyebutnya sebagai konteks tugas dan
ekspektasi kinerja.
Kita lihat misalnya guru dan konselor. Memang perlu
dipertanyakan dan dijawab dengan tegas, apa konteks tugas dan
dan ekspektasi kinerja masing-masing bagi guru dan konselor;
kalau tidak, akan muncul kerancuan yang membingungkan dan
bahkan menyesatkan. Ada orang yang menyatakan bahwa di
satu sisi guru menggunakan materi pembelajaran sebagai
konteks layanan, sedangkan di sisi lain konselor tidak
menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan.
Ini merupakan salah satu contoh pernyataan yang
membingungkan dan sekaligus agaknya menyesatkan. Pertama,
mengapa untuk guru disebutkan digunakan kata pembelajaran,
sedangkan konselor tidak, padahal semua pendidik, termasuk
guru dan konselor, berkewajiban menyelenggarakan proses
pembelajaran? Apakah ini bukan penyesatan terhadap makna
aturan perundangan tersebut di atas? Kedua, mengapa hanya
guru yang disebutkan menggunakan materi pembelajaran, dan
apakah konselor tidak menggunakan materi pembelajaran
tertentu dalam membelajarkan peserta didik (dalam hal ini
klien)? Kalau tidak ada materi pembelajaran yang digunakan
konselor, konselor menggunakan apa? Materi layanan
konselingnya apa? Apakah layanan konseling bukan layanan
pembelajaran dan materi yang ada di dalamnya bukan materi
pembelajaran? Pertanyaan-pertanyaan tersebut timbul karena
adanya konsep yang membingungkan. Ketiga, mungkin orang
yang mengemukakan pernyataan tersebut mengira bahwa
“materi pembelajaran” yang dimaksudkan undang-undang
wujudnya hanyalah materi pelajaran seperti Fisika, IPS, IPA,
Matematika di SD, SMP, SMA dan sebagainya. Kalau itu
maksudnya, memang benar bahwa itu adalah materi
pembelajaran sebagai bentuk tugas guru, bukan konselor.
Tetapi, apakah materi pembelajaran yang dimaksudkan oleh
undang-undang hanya berupa materi-materi pelajaran di
sekolah-sekolah seperti itu saja ? sesungguhnyalah, materi pembelajaran dapat berupa segala sesuatu yang layak dan dapat
dipelajari oleh peserta didik, tidak hanya materi pelajaran di
sekolah. Materi kemampuan mengenal diri, sikap, kebiasaan
dan keterampilan belajar, pengembangan bakat dan minat serta
pilihan karir, dan lain sebagainya, semunya merupakan materi
yang perlu dipelajari oleh peserta didik melalui kegiatan belajar
dan proses pembelajaran yang dijalani peserta didik melalui
hubungannya dengan pendidik.
Apa yang dibedakan orang tentang konteks tugas guru dan
konteks tugas konselor seperti tersebut di atas, ternyata justru
membingungkan dan tidak mencapai sasaran sebagaimana
diinginkan. Sebenarnya secara lebih mudah, perbedaan antara
konteks tugas guru dan konteks tugas konselor dapat dilihat
dari dua hal yaitu (a) materi pembelajaran, dan (b) cara
pembelajaran. Meteri pembelajaran oleh guru adalah materi
pembelajaran bidang studi yang diselenggarakan dengan cara
mengajar, sedangkan materi pembelajaran konselor adalah
pengembangan kemampuan pribadi, penyesuaian diri, sikap dan
kebiasaan belajar, pilihan karir, dsb. Dengan cara seperti itu apa
yang dimaksud dengan konteks tugas dan ekspektasi kinerja
guru dan konselor menjadi jelas. Uraian selanjutnya tentang
perbandingan antara konteks tugas dan ekspektasi kinerja guru
dan konselor, keduanya sebagai pendidik profesional, dapat
dibaca pada pembahasan tentang trilogi profesi.
Lebih jauh, peraturan perundangan menyebutkan:
• Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional (PP No
19/2005 Pasal 28 Butir 1).
• Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan
anak usia dini meliputi: a. Kompetensi pedagogik
b. Kompetensi kepribadian
c. Kompetensi profesional
d. Kompetensi sosial (sda. Pasal 28 Ayat 3)
Dengan tegas, peraturan mengemukakan bahwa pendidik
merupakan agen pembelajaran, artinya pendidik sebagai
pengajar, pendorong dan pembangkit motivasi belajar peserta
didik dalam kegiatan mandiri maupun melalui proses
pembelajaran, pembimbingan/pelatihan yang dikelola oleh
pendidik. Dengan demikian adalah menjadi tugas pendidik,
termasuk konselor, untuk tidak bosan-bosannya, didasari oleh
motivasi altruistik, mengupayakan agar peserta didik belajar
dan menjalani proses pembelajaran pembimbingan/pelatihan
dengan sepenuh daya untuk pengembangan dirinya secara
optimal. Untuk itu pendidik perlu memiliki kompetensi yang
dikategorikan sebagai kompetensi pedagogik, kepribadian,
profesional dan sosial. Permendiknas No. 27/2008 tentang
SKAKK secara jelas merinci unsur-unsur keempat kategori
kompetensi itu bagi konselor, yang adalah pendidik.
B. KOMPONEN TRILOGI PROFESI KONSELOR
1. Ilmu Pendidikan
Konselor diwajibkan menguasai ilmu pendidikan
sebagai dasar dari keseluruhan kinerja profesionalnya
dalam bidang pelayanan konseling, karena konselor
digolongkan ke dalam kualifikasi pendidik; dan oleh
karenanya pula kualifikasi akademik seorang konselor
pertama-tama adalah Sarjana Pendidikan. Dengan
keilmuan inilah konselor akan menguasai dengan baik
kaidah-kaidah keilmuan pendidikan sebagai dasar dalam
memahami peserta didik (sebagai sasaran pelayanan
konseling) dan memahami seluk beluk proses
pembelajaran yang akan dijalani peserta didik (dalam hal
ini klien) melalui modus pelayanan konseling. Dalam hal
ini proses konseling tidak lain adalah proses pembelajaran
yang dijalani oleh sasaran layanan (klien) bersama konselornya. Dalam arti yang demikian pulalah, konselor
sebagai pendidik diberi label juga sebagai agen
pembelajaran.14)
2. Substansi Profesi Konseling
Di atas kaidah-kaidah ilmu pendidikan itu konselor
membangun substansi profesi konseling yang meliputi
objek praktis spesifik profesi konseling, pendekatan, dan
teknologi pelayanan, pengelolaan dan evaluasi, serta
kaidah-kaidah pendukung yang diambil dari bidang
keilmuan lain. Semua subtansi tersebut menjadi isi dan
sekaligus fokus pelayanan konseling. Secara keseluruhan
substansi tersebut dikemas sebagai modus pelayanan
konseling 15)
Objek praktis spesifik yang menjadi fokus
pelayanan konseling adalah kehidupan efektif sehari-hari
(KES). Dalam hal ini, sasaran pelayanan konseling adalah
(a) kondisi KES yang dikehendaki untuk dikembangkan,
dan (b) kondisi kehidupan efektif sehari-hari yang
terganggu (KES-T). Dengan demikian, pelayanan
konseling pada dasarnya adalah upaya pelayanan dalam
pengembangan KES dan penanganan KES-T.
Kehidupan efektif sehari-hari (KES) dapat
diwujudkan oleh individu setiap saat, di sembarang tempat
dan pada berbagai kondisi dalam kehidupan individu, yaitu
di dalam keluarga, dalam hubungan sosial, kegiatan
pendidikan, karir, keagamaan, politik, ekonomi, seni-budaya, olahraga, dan lain-lain, serta dalam kehidupan
pribadi individual yang paling menyendiri sekalipun. KES
itu terselenggara dalam suasana sadar tujuan, nyaman dan
menyegarkan, merangsang dan menantang timbulnya rasa
bahagia dan suasana positif lainnya, didukung kompetensi
dan perencanaan yang memadai, dan diwarnai oleh suasana
moral sosial-spiritual/religius yang sesuai dan/atau
diharapkan. Sebaliknya, dalam kondisi tertentu, individu
juga dimungkinkan berada dalam kondisi kehidupan
“efektif sehari-hari” yang terkendala (KES-T). Dalam
kondisi KES-T (terganggu, terhambat, tersakiti, terugikan,
terzalimi, ternoda, tersingkir, dan lain-lain) individu
mengalami kesulitan, kesusahan, kekurangan,
ketidakwajaran, kecewa, dan suasana-suasana lain yang
membuatnya tidak bahagia, tidak berdaya, tidak berhasil,
tidak menepati peraturan, dan berbagai suasana lain yang
tidak diinginkan. Kondisi KES-T itu ditandai oleh salah
satu atau lebih gejala rasa aman terganggu, kompetensi
tidak memadai dan/atau tidak teraplikasikan, aspirasi
terlalu tinggi atau terlalu rendah, semangat terdegradasi,
dan kesempatan yang ada terbuang sia-sia.
Kondisi KES itulah yang diharapkan dominan ada
ataupun terjadi dan diterjadikan oleh individu sepanjang
hidupnya. Dalam pada itu, KES-T yang terjadi mestilah
ditangani segera agar tidak berlarut-larut atau bahkan
menimbulkan KES-T – KES-T baru, dan agar kondisi KES
terjelang kembali. Arah yang diharapkan adalah, individu
yang bersangkutan mampu memperkembangkan dan memterjadi-
kan kondisi KES pada dirinya sendiri, sekaligus
aspek-aspek positifnya terimbaskan kepada lingkungan
sekitarnya. Lebih jauh, adalah sangat menggembirakan
apabila kondisi KES-T yang dialami individu (a) tidak
mengimbaskan hal-hal negatif kepada lingkungan, (b)
dapat diatasi oleh individu itu sendiri, dan (c) dapat
dimanfaatkan oleh individu itu untuk memperkuat dan lebih mendorong kemampuan dan terjadinya KES pada
dirinya. Itulah yang dimaksud dengan kemandirian positifdinamis.
Demikianlah objek praktis spesifik profesi
konseling, yaitu pengembangan kemampuan KES dan
penanganan kondisi KES-T individu pada segenap aspek
kehidupan dan tahap perkembangannya menuju
kemandirian positif-dinamis dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar